Tradisi Siat Sampian di Pura Samuan Tiga

  • 20 April 2022 00:00 WITA
Balibanknews

Tradisi Siat Sampian di Pura Samuan Tiga

Simbol Perlawanan Dharma Melawan Adharma

Gianyar, Balibanknews - Tradisi Siat Sampian digelar saat Karya Padudusan Agung Bhatara Turun Kabeh di Pura Samuantiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Rabu (20/4). Dalam Purana, tradisi kuno itu merupakan simbol perlawanan Dharma atas Adharma.
Bendesa Adat Bedulu, Gusti Ngurah Serana yang juga anggota DPRD Kabupaten Gianyar itu menyatakan tradisi perang atau siat sampian digelar di areal Jaba Tengah Pura. Sarana yang digunakan, jejahitan sampian yang sebelumnya sebagai perlengkapan banten upakara. “Sampian ini dijadikan senjata perang. Pengayah yang menjalankan tradisi tidak sembarangan. Merupakan orang-orang pilihan yang telah mengikuti sejumlah rangkaian upacara penyucian secara Niskala,” ujarnya. Pengayah perempuan disebut Permas dan pengayah laki-laki disebut Parekan.
Gusti Ngurah Serana membeberkan, pengayah Parekan yang terlibat mencapai 400-an orang. Sedangkan Pengayah Permas sekitar 35 orang.
Tradisi Siat Sampian ini terdiri dari beberapa tahap. Pertama dimulai oleh Pengayah Permas yang memiliki waktu dari matahari terbit hingga tengah hari Pukul 12.00 WITA. Pengayah Permas melakukan gerakan Nampiog, yaitu menari keliling pura sebanyak 11 kali searah jarum jam. 
Setelah itu, dilanjutkan oleh Pengayah Parekan dengan prosesi Ngombak, yang menirukan gerakan ombak. Dalam kegiatan Ngombak para pengayah berbaris dengan berpegangan tangan lalu mengikuti gerakan maju mundur di depan pelinggih berulang-ulang kali, jika ada komando berhenti baru bisa selesai.
Tradisi itu diiringi tabuh gong dan angklung. Setelah Nampiog dan Ngombak, Pengayah dapat mengambil sampian, satu orang satu bahkan boleh mengambil dua. “Saat semua pengayah perempuan memegang sampian barulah perang dimulai,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu Pengayah Parekan, I Putu Ariawan yang juga Perbekel Desa Bedulu merasakan semangat luar biasa setelah menjalankan tradisi sakral siat sampian ini. “Sudah pasti lelah, berpeluh karena kita terus bergerak. Berlari keliling pura. Tapi semangatnya luar biasa,” ujarnya.
Putu Ariawan mengatakan ayah-ayahannya ini diwarisi secara turun temurun. Tercatat Putu Ariawan mulai ngayah memarekan sejak Tahun 2000. “Kira-kira sudah 22 tahun saya ngayah Parekan. Turun temurun dari keluarga,” tutup dia. (Yes)


TAGS :

Komentar